Berbagi Tips, Artikel Manajemen dan Motovasi -Design Grafis - Artikel Keislaman

Selasa, 30 April 2013

Posted by Munasik in | 01.01
Mungkin sudah banyak penguna blackberry yang suah tahu cara ini (Cara Restart Blackberry Tanpa cabut Baterai) tapi tidak apa -  apa saya akan coba share caranya kepada yang belum tahu saja.
Cara Restart Blackberry Tanpa cabut Baterai adalah dengan cara menekan dan menahan alt + aA + del secara bersamaan hinggan blackberrynya restar (bisa di lihat di gambar).


Catatan tombol aA nya yang di pojok kanan ya....


Silahkan mencoba

Senin, 22 April 2013

Posted by Munasik in , | 22.35
dakwatuna.com - Berbicara tentang peran ibu kembali mengingatkanku ketika awal di mana aku harus tinggal jauh dari kedua orang tuaku. Ketika itu usiaku menginjak umur 12 tahun dan baru akan memulai hidup baru yang tentunya berbeda dengan kehidupan sebelumnya yaitu masuk pondok pesantren Husnul Khotimah di Kuningan. Cukup jauh dirasa ketika itu karena harus menempuh waktu perjalanan kurang lebih 3 jam. Ketika itu, pada masa POS-HK (MOS), ada momen yang sengaja dibuat oleh panitia agar semua santri baru mengingat ibunya, perjuangannya, pengorbanannya, dan hal lainnya yang membuat semua santri mencucurkan air mata. Adalah melalui sebuah lagu yang kami nyanyikan bersama dengan penuh pemaknaan disertai kerinduan yang amat sangat dirasakan oleh kami pada sosok ibu.

Pada bagian lirik lagu itu dikatakan bahwa “sedari kecil hingga dewasa, ibu menjaga, membelai penuh manja”. Sebuah gambaran yang menunjukkan betapa besarnya peran seorang ibu pada anaknya dalam berbagai aspek kehidupan. Ketika dalam kandungan, sembilan bulan lamanya seorang anak diasuh, dirawat dengan penuh perhatian dan kehati-hatian. Ketika sedang mengandung seorang ibu senantiasa menjaga sikap, emosi, makanan, kesehatan dan hal lainnya. Semua itu dilakukan karena seorang ibu tidak ingin anak yang sedang dikandungnya mendapat dampak buruk dari kecerobohan yang dilakukan.

Dalam bersikap seorang ibu yang sedang hamil terlihat lebih santun dan sabar, hal itu dikarenakan sang ibu pun sadar bahwa sejak dalam kandungan dia sudah mulai mendidik anaknya. Di saat sang ibu marah, anak yang dalam kandungan pun akan merespon marah tersebut dan berdampak tak baik bagi perkembangan otak anak. Demikian juga saat sang ibu membaca Al-Quran, maka anak dalam kandungan pun meresponnya dengan baik dan membentuk sifat yang baik pula. Kalangan ahli kedokteran dan ilmu jiwa menyarankan agar mendidik anak diawali dari saat dalam kandungan. Maka tidaklah salah jika seorang ibu merupakan madrasah pertama bagi anaknya.

Menjadi sosok mulia penuh cinta, seorang ibu menjadi tumpuan utama dalam mencetak generasi tangguh, cerdas dan berakhlak mulia yang akan memunculkan sebuah harapan untuk memimpin umat ini di masa yang akan datang. Sebagai madrasah yang tentunya akan banyak ilmu yang disampaikan dan diajarkan, seorang ibu haruslah memiliki wawasan keilmuan yang luas. Di sanalah seorang anak pertama kali belajar bersikap, belajar mengenal Tuhannya, belajar mengenal apa yang ada di sekitarnya, semuanya berawal di madrasah itu. Ibu sebagai lembaga pendidikan tentunya harus dipersiapkan dengan baik. Seperti kutipan dari perkataan Ahmad Syauqi bahwa, “Seorang wanita (ibu) adalah lembaga pendidikan, yang jika ia benar-benar mempersiapkan dirinya, berarti  ia telah mempersiapkan sebuah generasi  yang benar-benar digdaya”. Maka wajiblah jika seperti itu kepada seluruh wanita untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya. Tanpa ilmu dan pemahaman yang benar mungkin generasi tangguh, cerdas, dan berakhlak mulia tidak akan pernah terwujud selama-lamanya.

Namun saat ditengok pada realita yang ada, masih banyak para wanita yang tidak menganggap penting sebuah pendidikan bagi dirinya. Mereka berpendapat, ”buat apa sekolah tinggi-tinggi toh kalo nantinya cuma jadi ibu rumah tangga?” atau ada juga mereka yang bersemangat mengejar gelar pendidikan setinggi-tingginya namun dengan tujuan hanya untuk kepentingan karirnya saja. Sehingga ketika punya anak dia dengan sangat mudah mengalihkan fungsi ibu yang seharusnya diperankan olehnya kepada pembantu yang biasanya tidak begitu diperhatikan latar belakang pendidikannya, oleh karena itu waktu untuk anak pun sangatlah terbatas bahkan mungkin tidak ada. Tidak aneh jadinya ketika melihat seorang anak yang sangat sulit untuk diarahkan atau bahkan terjerumus dalam pergaulan bebas yang menghancurkan masa depannya. Hal itu menjadi salah satu akibat kurangnya kasih sayang yang diberikan kedua orangtua khususnya dari seorang ibu.

Hmm… sungguh disayangkan sekali realita yang terjadi saat ini, ketidakpahaman yang berujung pada kesalahpahaman dalam memandang pendidikan berimbas pada nasib generasi masa depan.
Ketahuilah wahai para wanita, sungguh derajat muliamu sudah ditinggikan posisinya oleh Allah SWT, seperti dalam hadits Nabi Muhammad SAW, Dari Abu Hurairah berkata: “Datang seseorang kepada Rasulullah lalu bertanya: Wahai Rasulullah, siapa yang paling berhak untuk saya berbuat baik padanya? Rasulullah menjawab: Ibumu, Dia bertanya lagi: Lalu siapa? Rasulullah menjawab: Ibumu, dia bertanya lagi: Lalu siapa? Rasulullah kembali menjawab: Ibumu, lalu dia bertanya lagi: Lalu siapa? Rasulullah menjawab: Bapakmu.”(HR. Bukhari: 5971, Muslim: 2548). Mulianya engkau hingga diulang tiga kali Nabi Muhammad SAW menyebutmu sebelum akhirnya ayah setelah itu.
Saudariku yang insya Allah di kemudian hari kan menjadi seorang ibu, menjadi ibu rumah tangga bukanlah pekerjaan rendahan bahkan hina. Sungguh itulah pekerjaan muliamu yang membuka peluang bagimu mendulang pahala sebagai tabungan akhiratmu. Dengannya engkau dapat memberikan kontribusi nyata dalam mencetak generasi tangguh, cerdas, dan berakhlak mulia bagi bangsa juga agama. Ilmu yang engkau dapatkan dari pendidikan formal sampai tingkat tertinggi pun tak akan menjadi sebuah kesia-sian karena dengannya engkau dapat berbagi dengan anakmu kelak sehingga dia menjadi sosok unggul di masa depannya. Mulia dan sangatlah berarti peran seorang ibu.
Untuk mengakhiri, ingin kusampaikan bahwa tanpamu (ibu) mungkin tak bisa ku menulis sepanjang ini, tak bisa ku mengenal Allah SWT sebagai Tuhanku seperti sekarang ini. Engkaulah yang pertama kali mengenalkan semua itu padaku, kau ajarkan dengan kesabaranmu. Ibu, sungguh kau lah madrasah pertama bagiku.

Sedikit ku selipkan lagu indah pada penutup tulisan ini tentang sosok ibu untuk mengingat akan jasa-jasanya dan sebagai penawar rasa rindu padanya.

Kasihnya Ibu
Kasihnya ibu tulus sejati
Seperti rasul. taatnya pada ilahi
Ikhlas suci kekal abadi
Kasihnya tak dapat ditukar ganti
Sedari kecil, hingga dewasa
Ibu menjaga, membelai penuh manja
Sabar tanpa penat dan lelah
Karena kewajiban dan amanah
Kini engkau telah dewasa
Hati ibu mesti dijaga
Jangan jadi anak durhaka
Kasihnya ibu membawa ke surga.
Posted by Munasik in , | 22.31
Pada tepian sebuah sungai, tampak seorang anak kecil sedang bersenang-senang. Ia bermain air yang bening di sana. Sesekali tangannya dicelupkan ke dalam sungai yang sejuk. Si anak terlihat sangat menikmati permainannya.

Selain asyik bermain, si anak juga sering memerhatikan seorang paman tua yang hampir setiap hari datang ke sungai untuk memancing. Setiap kali bermain di sungai, setiap kali pula ia selalu melihat sang paman asyik mengulurkan pancingnya. Kadang, tangkapannya hanya sedikit. Tetapi, tidak jarang juga ikan yang didapat banyak jumlahnya.

Suatu sore, saat sang paman bersiap-siap hendak pulang dengan ikan hasil tangkapan yang hampir memenuhi keranjangnya, si anak mencoba mendekat. Ia menyapa sang paman sambil tersenyum senang. Melihat si anak mendekatinya, sang paman menyapa duluan. "Hai Nak, kamu mau ikan? Pilih saja sesukamu dan ambillah beberapa ekor. Bawa pulang dan minta ibumu untuk memasaknya sebagai lauk makan malam nanti," kata si paman ramah.

"Tidak, terima kasih Paman," jawab si anak.

"Lo, paman perhatikan, kamu hampir setiap hari bermain di sini sambil melihat paman memancing. Sekarang ada ikan yang paman tawarkan kepadamu, kenapa engkau tolak?"

"Saya senang memerhatikan Paman memancing, karena saya ingin bisa memancing seperti Paman. Apakah Paman mau mengajari saya bagaimana caranya memancing?" tanya si anak penuh harap.

"Wah wah wah. Ternyata kamu anak yang pintar. Dengan belajar memancing engkau bisa mendapatkan ikan sebanyak yang kamu mau di sungai ini. Baiklah. Karena kamu tidak mau ikannya, paman beri kamu alat pancing ini. Besok kita mulai pelajaran memancingnya, ya?"

Keesokan harinya, si bocah dengan bersemangat kembali ke tepi sungai untuk belajar memancing bersama sang paman. Mereka memasang umpan, melempar tali kail ke sungai, menunggu dengan sabar, dan hup... kail pun tenggelam ke sungai dengan umpan yang menarik ikan-ikan untuk memakannya. Sesaat, umpan terlihat bergoyang-goyang didekati kerumunan ikan. Saat itulah, ketika ada ikan yang memakan umpan, sang paman dan anak tadi segera bergegas menarik tongkat kail dengan ikan hasil tangkapan berada diujungnya.

Begitu seterusnya. Setiap kali berhasil menarik ikan, mereka kemudian melemparkan kembali kail yang telah diberi umpan. Memasangnya kembali, melemparkan ke sungai, menunggu dimakan ikan, melepaskan mata kail dari mulut ikan, hingga sore hari tiba.

Ketika menjelang pulang, si anak yang menikmati hari memancingnya bersama sang paman bertanya, "Paman, belajar memancing ikan hanya begini saja atau masih ada jurus yang lain?"

Mendengar pertanyaan tersebut, sang paman tersenyum bijak. "Benar anakku, kegiatan memancing ya hanya begini saja. Yang perlu kamu latih adalah kesabaran dan ketekunan menjalaninya. Kemudian fokus pada tujuan dan konsentrasilah pada apa yang sedang kamu kerjakan. Belajar memancing sama dengan belajar di kehidupan ini, setiap hari mengulang hal yang sama. Tetapi tentunya yang diulang harus hal-hal yang baik. Sabar, tekun, fokus pada tujuan dan konsentrasi pada apa yang sedang kamu kerjakan, maka apa yang menjadi tujuanmu bisa tercapai."

Minggu, 21 April 2013

Posted by Munasik in , | 21.06
Ghibah dan dusta merupakan dua hal, yang hampir-hampir menjadi fenomena dalam lingkup kehidupan manusia. Seringkali, di manapun manusia berkumpul dan berbicara, tidak luput dari dua hal ini, atau minimal dengan salah satunya. Jika kita perhatikan di kantor, di pasar, di rumah, di kantin atau di manapun juga, baik laki-laki maupun perempuan, senantiasa minimal ghibah (baca; membicarakan orang lain) menjadi tema sentral pembicaraan mereka. Padahal, Allah SWT memerintahkan kepada setiap insan untuk berkomunikasi dan berbicara dengan baik. Dalam salah satu ayatnya Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا*  يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا*

Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar (baik), niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.

Ayat di atas menggambarkan kepada kita, adanya korelasi yang kuat antara keimanan (baca; ketakwaan) dengan perkataan yang baik. Seseorang yang memiliki keimanan yang baik, insya Allah secara otomatis akan berkomunikasi dan bertutur kata yang baik. Sementara ghibah apalagi dusta termasuk dalam kategori perkataan yang tidak baik. Bahkan dusta masuk dalam kategori dosa-dosa besar.

Antara Ghibah Dan Dusta
Dari segi bahasa, ghibah berasal dari kata bahasa Arab ‘Ghaba’, yang berarti ghaib (baca; tidak tampak), atau tidak terlihat:
الغيبة لغة مشتق من فعل غاب أو الغيب، وهو كل ما غاب عن الإنسان
Oleh karena itulah, dari segi bahasa, ghibah berarti membicarakan orang lain yang ghaib (baca; yang tidak hadir) di antara orang yang sedang membicarakannya. Baik pembicaraan tersebut mengenai hal-hal yang positif darinya, ataupun yang bersifat negatif.

Adapun dari segi istilah, ghibah adalah pembicaraan yang dilakukan seorang muslim mengenai saudaranya sesama muslim lainnya dalam hal-hal yang bersifat keburukan dan kejelekannya, atau hal-hal yang tidak disukainya.

Sedangkan dusta, adalah kita membicarakan sesuatu yang terdapat dalam diri seseorang yang sesungguhnya sesuatu itu tidak terdapat dalam diri saudara kita tersebut. Sehingga dari sini, perbedaan antara ghibah dengan dusta terletak pada obyek pembicaraan yang kita lakukan. Dalam ghibah, yang kita bicarakan itu memang benar-benar ada dan melekat pada diri orang yang menjadi obyek pembicaraan kita. Sedangkan dalam dusta, sesuatu yang kita bicarakan tersebut, ternyata tidak terdapat pada diri seseorang yang kita bicarakan. Hal ini secara jelas pernah digambarkan oleh Rasulullah SAW dalam salah satu haditsnya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ (رواه مسلم)
Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, ‘Tahukah kalian, apakah itu ghibah? Para sahabat menjawab, ‘Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui.’ Rasulullah SAW bersabda, ‘engkau membicarakan sesuatu yang terdapat dalam diri saudaramu mengenai sesuatu yang tidak dia sukai. Salah seorang sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah SAW, bagaimana pendapatmu jika yang aku bicarakan benar-benar ada pada diri saudaraku? Rasulullah SAW menjawab, jika yang kau bicarakan ada pada diri saudaramu, maka engkau sungguh telah mengghibahinya. Sedangkan jika yang engkau bicarakan tidak terdapat pada diri saudaramu, maka engkau sungguh telah mendustakannya. (HR. Muslim)

Dusta dan Ghibah Dalam pandangan Islam
Baik ghibah maupun dusta, sesungguhnya merupakan perbuatan yang dilarang oleh Allah dan Rasulullah SAW:
Mengenai dusta, Dalam Al-Qur’an Allah berfirman (QS. 22: 30):
فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الأَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ*
‘Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.’
Bahkan dusta ini masuk dalam kategori dosa-dosa besar yang senantiasa harus dijauhi oleh setiap mukmin. Dalam satu riwayat, Rasulullah SAW pernah mengatakan:

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ قُلْنَا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ وَكَانَ مُتَّكِئًا فَجَلَسَ فَقَالَ أَلاَ وَقَوْلُ الزُّورِ وَشَهَادَةُ الزُّورِ أَلاَ وَقَوْلُ الزُّورِ وَشَهَادَةُ الزُّورِ فَمَا زَالَ يَقُولُهَا حَتَّى قُلْتُ لاَ يَسْكُتُ (رواه البخاري)
“Dari Abu Bakrah RA, Rasulullah SAW bersabda: ‘Maukah kalian aku beritahu tentang dosa-dosa yang paling besar di antara dosa-dosa besar? Kami menjawab, tentu wahai Rasulullah SAW. Rasulullah SAW mengatakan, ‘Yaitu, menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua.’ Beliau berdiri, kemudian duduk, lalu mengatakan lagi, ‘dan perkataan dusta serta persaksian dusta… perkataan dusta dan persaksian dusta….’ Beliau terus mengucapkan itu, hingga aku katakan bahwa beliau tidak berhenti mengucapkannya.” (HR. Bukhari)

Ayat-ayat dan hadits-hadits lainnya yang membicarakan masalah ghibah masih cukup banyak. Namun dari kedua dalil di atas, kita sudah dapat mengambil kesimpulan bahwa dusta merupakan perbuatan tercela yang dilarang oleh Allah dan Rasulullah SAW. Bahkan Rasulullah SAW secara langsung mengkategorikannya pada perbuatan dosa-dosa besar yang paling besar.
Sedangkan mengenai ghibah, sebagaimana dusta, banyak ayat-ayat maupun hadits-hadits yang melarangnya. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman dalam (QS. 49: 12):

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلاَ تَجَسَّسُوا وَلاَ يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ*
‘Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.’
Dalam hadits, Rasulullah SAW bersabda:

عَنْ سَعِيدِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ مِنْ أَرْبَى الرِّبَا الاِسْتِطَالَةَ فِي عِرْضِ الْمُسْلِمِ بِغَيْرِ حَقٍّ (رواه أبو داود)
Dari Said bin Zaid RA, Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya riba yang paling bahaya adalah berpanjang kalam dalam membicarakan (keburukan) seorang muslim dengan (cara) yang tidak benar. (HR. Abu Daud)

Kedua dalil di atas telah cukup menunjukkan kepada kita mengenai bahaya ghibah. Dalam ayat (QS. 49: 12) Allah mengumpamakan ghibah seperti orang yang memakan daging saudaranya sendiri yang telah meninggal. Sedangkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Rasulullah SAW mengumpamakannya dengan riba yang paling berat dan berbahaya. Oleh karena itulah, bagi setiap muslim harus berusaha secara maksimal untuk meninggalkan kedua penyakit lisan yang ternyata sangat berbahaya ini. Kita dapat membayangkan, sekiranya setiap hari kita diumpamakan seperti menyantap makanan yang terbuat dari daging saudara kita sendiri? Selain itu kita juga diumpakan selalu berinteraksi dengan riba yang paling berbahaya dan paling besar dosanya di sisi Allah SWT? Na’udzu billah min dzalik.

Kondisi Diperbolehkannya Ghibah dan Dusta
Meskipun demikian, memang ada beberapa kondisi tertentu di mana kita diperbolehkan untuk dusta dan ghibah.

1. Kondisi diperbolehkannya dusta
Dalam hadits dijelaskan oleh Rasulullah SAW mengenai beberapa keadaan di mana seseorang dihalalkan untuk berdusta, berdasarkan hadits berikut:
عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ يَزِيدَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، لاَ يَحِلُّ الْكَذِبُ إِلاَّ فِي ثَلاَثٍ يُحَدِّثُ الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ لِيُرْضِيَهَا وَالْكَذِبُ فِي الْحَرْبِ وَالْكَذِبُ لِيُصْلِحَ بَيْنَ النَّاسِ (رواه الترمذى)
“Dari Asma’ binti Yazid RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Dusta tidak diperkenankan melainkan dalam tiga hal; seorang suami berbicara kepada istrinya agar istrinya (lebih mencintainya), dusta dalam peperangan dan dusta untuk mendamaikan di antara manusia (yang sedang bertikai)” (HR. Turmudzi)

2. Kondisi diperbolehkannya ghibah
Dr. Sayid Muhammad Nuh dalam Afat Ala al-Thariq (1996: III/ 52) mengungkapkan ada enam hal, di mana seseorang diperbolehkan untuk ghibah, yaitu:

1. Tadzalum.
Yaitu orang yang teraniaya, kemudian mengadukan derita yang diterimanya kepada hakim, ulama dan penguasa agar dapat mengatasi problematika yang sedang dialaminya. Dalam pengaduan tersebut tentu ia akan menceritakan keburukan orang yang menganiaya dirinya. Dan hal seperti ini diperbolehkan. Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman:
لاَ يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلاَّ مَنْ ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا*
“Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

2. Meminta bantuan untuk merubah kemungkaran & mengembalikan orang yang maksiat menjadi taat kepada Allah SWT, kepada orang yang dirasa mampu untuk melakukannya. Seperti ulama, ustadz atau psikolog. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda,
‘Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, jika tidak mampu, maka dengan lisannya, dan jika tidak mampu maka dengan hatinya. (HR. Muslim).
Sementara meminta bantuan kepada orang yang lebih mampu, masuk dalam kategori merubah kemungkaran dengan lisan.

3. Meminta fatwa.
Seperti seseorang yang meminta fatwa kepada ulama dan ustadz, bahwa saudaraku misalnya menzhalimiku seperti ini, maka bagaimana hukumnya bagi diriku maupun bagi saudaraku tersebut.
Dalam salah satu riwayat pernah digambarkan, bahwa Hindun binti Utbah (istri Abu Sufyan) mengadu kepada Rasulullah SAW dan mengatakan, wahai Rasulullah SAW, suamiku adalah seorang yang bakhil. Dia tidak memberikan padaku uang yang cukup untuk dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga kami, kecuali yang aku ambil dari simpanannya dan dia tidak mengetahuinya. Apakah perbuatanku itu dosa? Rasulullah SAW menjawab, ambillah darinya sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan cara yang baik (baca; ma’ruf)” (HR. Bukhari)

4. Peringatan terhadap keburukan atau bahaya.
Seperti ketika Fatimah binti Qais RA datang kepada Rasulullah SAW dan memberitahukan bahwa ada dua orang pemuda yang akan meminangnya, yaitu Muawiyah dan Abu Jahm. Rasulullah SAW mengatakan, ‘Adapun Muawiyah, ia adalah seseorang yang sangat miskin, sedangkan Abu Jahm, adalah seseorang yang ringan tangan (suka memukul wanita).” (HR. Muslim)

5. Terhadap orang yang menampakkan kefasikan & kemaksiatannya, seperti minum khamer, berzina, judi, mencuri, dan membunuh. Terhadap orang yang seperti ini kita boleh ghibah. Apalagi terhadap orang yang menampakkan permusuhannya kepada agama Islam dan kaum muslimin.

6. Untuk pengenalan.
Adakalanya seseorang telah dikenal dengan julukan tertentu yang terkesan negatif, seperti para periwayat hadits ada yang dikenal dengan sebutan A’masy (si rabun), A’raj (pincang), Asham (tuli), A’ma (buta) dsb. Mereka semua sangat dikenal dengan nama tersebut. Jika disebut nama lain bahkan banyak perawi lainnya yang kurang mengenalnya. Meskipun demikian, tetap menggunakan nama aslinya adalah lebih baik. Bahkan jika dengan namanya tersebut dia telah dikenal, maka tidak boleh menggunakan julukan yang terkesan negatif.

Cara Untuk Menghindari Dusta dan Ghibah
Sudah menjadi sunnatullah bahwa setiap penyakit tentu ada obatnya. Demikian juga dengan penyakit hati dan lisan, seperti dusta dan ghibah. Allah memberikan berbagai jalan untuk manusia agar dapat mengobati dirinya dari penyakit-penyakit seperti ini, di antaranya adalah:

1. Dengan meningkatkan rasa ‘muraqabatullah’ yaitu sebuah rasa di mana kita senantiasa tahu, bahwa Allah sangat mengetahui segala tindak tanduk yang kita lakukan, baik ketika seorang diri maupun di saat bersama-sama. Baik ketika orang yang kita bicarakan ada di antara kita ataupun tidak ada. Allah pasti mengetahuinya.

2. Meningkatkan keyakinan kita bahwa setiap orang yang kita bicarakan, pasti akan dimintai pertanggungjawabannya dari Allah SWT kelak. Dalam salah satu ayatnya, Allah berfirman (QS. 50: 18):
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلاَّ لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ*
Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.

3. Menahan emosi dan mencegah amarah. Karena keduanya merupakan faktor yang dapat membawa seseorang pada ghibah dan dusta.

4. Tabayun (baca; mengecek) terhadap informasi yang datang dari seseorang, sebelum membicarakannya pada orang lain. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman (QS. 49: 6)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ*
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”

5. Beramal & berusaha untuk dapat menciptakan suasana yang ‘Islami’, di lingkungan kerja, di rumah, di kantin dsb, dengan membuat kesepakatan dan ketauladanan untuk tidak membicarakan kejelekan orang lain, apalagi berbohong. Di samping itu juga keharusan adanya teguran, kepada orang yang secara sengaja atau tidak dalam membicarakan orang lain.

6. Jika kita merupakan orang yang menjadi obyek pembicaraan, kita pun harus menanggapinya dengan akhlak yang baik dan bijaksana. Kita mencek kembali, mengapa mereka membicarakan kita, siapa saksinya kemudian diselesaikan dengan baik.

7. Himbauan secara khusus kepada orang-orang yang menjadi panutan, baik dalam kantornya, masyarakatnya atau di mana saja, untuk menjauhi hal ini (ghibah dan dusta), supaya mereka yang berada di bawahnya dapat mencontoh. Karena apabila para panutan ini memberikan keteladanan yang buruk, maka para bawahannya pun akan mengikutinya.

8. Membiasakan diri untuk bertanya sesegera mungkin manakala melihat adanya fenomena seseorang yang berbuat sesuatu yang melanggar syariat, hingga kita tidak terjerumus pada keghibahan.

9. Mengajak umat secara keseluruhan untuk menghindari diri dari penyakit ini, dengan cara tidak membicarakan orang lain, tidak mendengarkan jika ada orang yang membicarakan orang lain, memberikan teguran dan lain sebagainya.

10. Mengingat-ingat kembali, tentang hukum dusta dan ghibah serta akibat yang akan ditimbulkan dari adanya hal seperti ini.

Penutup
Kita yakin bahwa setiap insan pasti pernah terjerumus dalam perbuatan maksiat. Dan kemaksiatan yang paling mudah menjerumuskan setiap insan adalah maksiat mata dan maksiat lisan. Dan di antara kemaksiatan lisan adalah dusta dan ghibah. Padahal kedua kemaksiatan ini (ghibah dan dusta) adalah termasuk dalam kategori dosa-dosa besar. Dusta, adalah dosa besar yang paling besar, yang disejajarkan dengan syirik dan durhaka pada orang tua. Sementara ghibah Allah umpamakan seperti memakan bangkai saudara kita sendiri yang telah mati. Atau seperti orang yang melakukan riba yang paling berat dan berbahaya. Jadi betapa besarnya dosa kita jika setiap hari kita ‘mengkonsumsi’ dusta dan ghibah?
Oleh karena itulah, hendaknya kita memperbaharui taubat kita kepada Allah SWT serta berjanji untuk tidak terjerumus kembali pada ghibah & dusta, semampu kita. Apalagi jika kita merenungi bahwa salah satu sifat mukmin adalah sebagaimana yang digambarkan dalam hadits berikut:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ (رواه البخاري)
Dari Abdullah bin Amru RA, Rasulullah SAW bersabda, ‘Seorang muslim adalah seseorang yang menjadikan muslim lainnya selamat (terjaga) dari lisan dan tangannya. Sedangkan muhajir adalah orang yang meninggalkan sesuatu yang dilarang Allah SWT. (HR. Bukhari)
Wallahu A’lam Bis Shawab.

Search

Bookmark Us

Delicious Digg Facebook Favorites More Stumbleupon Twitter